Sabtu, 01 September 2012

Waruga



Waruga ini bukanlah sembarang peti kubur. Waruga bukan hanya sebuah peti kubur biasa, tapi memiliki beberapa keistimewaan. Peti kubur ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian bawah (badan) dan bagian atas (tutup). Tiap-tiap bagian terbuat dari sebuah batu utuh (monolith). Biasanya berbentuk seperti kubus pada bagian badannya. Di dalam bagian badan waruga terdapat rongga sebagai kubur jasad orang yang sudah meninggal tersebut. Kemudian posisi mayat di dalam peti kubur itu adalah dalam keadaan jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim ibu sebelum dilahirkan. Kalau jasadnya laki-laki, tangan berada dalam posisi terkunci (kunci tangan) dan untuk perempuan adalah mengepalkan tangan.
Posisi mayat tersebut sebenarnya erat terkait dengan filosofi manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan sudah seharusnyalah mengakhiri hidup dengan posisi yang sama, yaitu jongkok. Filosofi ini dikenal dengan sebutan ‘whom’. Setiap waruga biasanya adalah untuk satu keluarga yang kait-mengkait. Tapi ada juga waruga yang dipersiapkan untuk mereka yang tidak sekeluarga namun memiliki kesamaan profesi sebelum mereka meninggal dunia.
Tak jarang pula di dalam waruga ditemui tulang-tulang atau rangka manusia yang bercampur aduk dengan benda-benda lain seperti keramik China, perhiasan, benda-benda dari logam, dan masih banyak lagi. Ketika meninggal dunia, maka barang-barang kesayangan orang tersebut disertakan dalam kubur sebagai ‘bekal kubur’.
Pada bagian tutup (cungkup batu) sering berukir atau berpahatkan keterangan profesi atau keterangan lainnya tentang jasad di dalamnya. Misalnya, jika ditemui tutup berukirkan binatang maka artinya profesi orang tersebut sebelum meninggal adalah pemburu. Ada juga cungkup batu dengan motif perempuan yang sedang melahirkan, itu menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga itu adalah seorang dukun beranak. Kalau pada cungkup batu terlihat ukiran beberapa orang berkerumun secara bersama, maka berarti yang dikubur dalam waruga itu adalah satu keluarga utuh, mereka meninggal kemudian dikuburkan satu per satu.
Waruga itu kebanyakan berukuran 50 cm sampai satu meter dengan tinggi sekitar satu meter juga. Tapi ada juga waruga dengan tinggi yang mencapai 3 meter. Kalau sekiranya kita pernah mendengar kisah-kisah jaman dulu di Minahasa, maka banyak ditemui cerita tentang kehebatan dan kesaktian orang-orang kuno Minahasa. Mereka yang hidup di zaman megalitik, mampu memikul waruga yang berat sekalipun. Caranya mereka meletakan cungkup penutup waruga di atas kepala, dan tempat mayat (bagian badan) dari waruga dijinjing pakai tangan. Sungguh luar biasa kekuatan yang mereka miliki.
Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga berasal dari dua kata: Wale dan Maruga. Wale artinya rumah, maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi abu. Menurut beberapa catatan, ada sekitar 1000-1500 waruga yang tersebar di Minahasa. Kalau Anda ingin mengunjungi tempat-tempat yang memiliki waruga, cobalah untuk tidak melewatkan Desa Sawangan, kemudian di Desa Airmadidi Bawah, Kawangkoan, Kolongan, Maumbi, Kuwil, Kokoleh (Likupang), Matungkas, Paniki, Kasar, Tumaluntung, Kema, Kawangkoan, Sonder, Tumpaan, Tombariri, Tomohon, dan masih banyak lagi. ‘Wisata Waruga’ memang memiliki seninya tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar